IT CHANGE MANAGEMENT

STRATEGI PENERAPAN MANAJEMEN PERUBAHAN

UNTUK MENGATASI PERUBAHAN AKIBAT TIK

OLEH : Henry Christianto

Junior Consultant pada Sisfo Strategic Learning and Consulting (www.sisfokampus.net)


Perkembangan lingkungan bisnis dewasa ini mengharuskan perusahaan untuk terus mengikuti dinamika perubahan untuk dapat bertahan dalam industri. Hadirnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan berbagai macam kapabilitasnya menjanjikan sebuah harapan baru bagi para pimpinan perusahaan, yaitu transformasi menjadi sebuah perusahaan yang dapat memenangkan persaingan dengan mengenabler TIK. Namun, fakta membuktikan sejumlah alasan gagalnya implementasi tersebut mulai dari gagalnya pelaksanaan proyek, baik overbudget, molornya waktu pelaksanaan proyek, kualitas proyek yang tidak sesuai dengan harapan hingga resistensi yang muncul ketika sistem tersebut diimplementasikan. Untuk itu perlu suatu strategi manajemen perubahan yang baik agar kegagalan penerapan TIK dapat dicegah sehingga perusahaan mendapatkan value dari investasi mahal yang telah dilakukan.

DINAMISASI PERUBAHAN ORGANISASI

Perubahan seolah menjadi suatu keharusan bagi sebuah perusahaan dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan kompetisi yang semakin ketat. Berbagai tekanan dari lingkungan bisnis maupun perubahan permintaan konsumen yang semakin kritis menjadikan perubahan sebagai suatu langkah strategis untuk dapat bertahan dan memenangkan kompetisi di era digitalisasi saat ini.

Perubahan merupakan suatu harapan. Perubahan merupakan janji-janji yang diberikan untuk menjadi lebih baik dari kondisi saat ini. Perubahan terjadi tidak lagi dalam hitungan tahun atau bulan. Pada industri telekomunikasi seluler di Indonesia misalnya, perubahan terjadi begitu cepat. Tekanan yang datang dari berbagai sisi mulai dari meningkatnya daya tawar pelanggan karena rendahnya switching cost, “perang” strategi harga termurah (cost leadership) hingga munculnya para pendatang baru yang juga menawarkan layanan dengan harga kompetitif menjadikan perusahaan harus mereview strategi bisnis yang diterapkannya dalam periode waktu harian. Perubahan pada industri ini terjadi sangat dinamis. Sehingga jika perubahan tersebut tidak dimanage dengan baik, maka perusahaan akan kehilangan peluang-peluang bisnis yang dimilikinya.

Manajemen perubahan merupakan suatu langkah dalam mengelola perubahan dalam mengantisipasi resiko-resiko yang muncul maupun menerapkan strategi baru dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada untuk memenangkan kompetisi. Di era informasi seperti sekarang ini dibutuhkan organisasi yang fleksibel, adaptif, dan dapat meraih peluang dengan cepat dan tepat serta responsif terhadap perubahan yang terjadi (adhocracy culture).

Sebagai contoh dapat kita lihat perubahan yang terjadi pada PT. Dirgantara Indonesia (PTDI), dimana krisis moneter tahun 1997 telah melumpuhkan salah satu industri kebanggaan Indonesia ini. PTDI yang sebelumnya bernama IPTN mengalami beberapa masalah, mulai dari bisnis, manajemen, hingga hubungan industrial yang sangat kompleks. Manajemen mengambil beberapa langkah inisiatif demi menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan, mulai dari pemberdayaan “kapasitas berlebih” dalam bentuk “spin off”, reorganisasi, restrukturisasi utang dengan BPPN hingga pengurangan jumlah karyawan melalui program pengunduran diri Atas Permintaan Sendiri (APS). Sebagai dampaknya, selama tahun 2000 sampai tahun 2003 gelombang demonstrasi menuntut pergantian manajemen sebagai akibat dari program APS tidak dapat dibendung lagi. Tuntutan kenaikan gaji serta perubahan sistem penggajian menjadi isu yang muncul akibat krisis moneter yang menimpa negara ini. Produktifitas menurun hingga 18,4% sementara restrukturisasi utang dengan BPPN belum selesai dan pembayaran pelanggan yang seharusnya digunakan untuk membeli material terpaksa dipakai untuk membayar gaji. Selain itu kondisi manajemen yang tidak solid serta cash flow yang negatif semakin mempersulit perusahaan untuk dapat bertahan. Dalam situasi yang sangat kritis ini, manajemen mengambil keputusan untuk melakukan downsizing dengan merumahkan seluruh karyawan selama enam bulan dengan tetap memberikan hak-haknya (termasuk gaji) kecuali uang makan dan transport dan melakukan pemanggilan secara bertahap karyawan-karyawan tersebut ketika ada pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Manajemen sadar bahwa keputusan ini akan menimbulkan resistensi terutama dari serikat pekerja. Namun manajemen tidak memiliki pilihan lain untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Usaha ini memberikan hasil dimana jumlah tenaga kerja berkurang dari 9638 orang pada tahun 2001 menjadi 3736 orang pada 2004. Sales per employee meningkat dari U$ 13.825 menjadi U$ 16.800. Unit bisnis meramping dari 21 Unit bisnis menjadi 5 unit bisnis dan PTDI berhasil melakukan penghematan biaya overhead dari U$ 30.6 juta menjadi U$ 17.5 juta. Berkat perubahan yang dilakukan, maka manajemen berhasil menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan (Kasali, 2006)

BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI TIK

TIK sebagai teknologi yang dapat digunakan sebagai “competitive weapon” dalam memenangkan persaingan terbukti dapat mempengaruhi hingga level korporat dalam menentukan arah bisnisnya. Perkembangan internet yang booming di awal tahun 2000 telah merubah cara perusahaan dalam melakukan aktifitas bisnisnya. Buku yang tadinya hanya dapat kita beli pada toko buku dalam bentuk hard copy saat ini telah tersedia dalam bentuk soft copy dan didistribusikan melalui jalur virtual dengan proses yang dilakukan secara virtual pula. Dengan mobile technology, penonton bioskop tidak perlu lagi mengantri saat akan membeli karcis. Layanan M-Tick atau Mobile Ticketing yang ditawarkan 21 cineplex merupakan solusi untuk mengurangi jumlah antrian terutama pada weekend day.

Namun, apakah TIK selalu menjadi solusi dalam permasalahan bisnis saat ini ? Apakah dalam penerapannya TIK tidak mengalami kendala ? Data yang disajikan oleh The Standish Group melaporkan bahwa hanya 34% proyek-proyek IT yang berhasil dilakukan. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan ini, diantaranya adalah kurangnya dukungan eksekutif, resistensi yang muncul akibat penerapan sistem baru, hingga kompetensi yang buruk dari sumberdaya manusia yang dimiliki.

Bayangkan, ketika sebuah organisasi – yang terbiasa bekerja dengan tumpukan kertas (paper-based) dan loket-loket yang melayani bagian-bagian tertentu, atau organisasi yang SDM nya beranggapan bahwa teknologi hanya menghambat pekerjaan mereka misalnya – ingin mengimplementasikan TIK dalam usaha memperbaiki kualitas dan layanannya. Sebaik apapun TIK yang diimplementasikan tidak akan berhasil diterapkan jika faktor pengambat (resistance force) yang muncul mendominasi pada proses implementasi tersebut. Merubah paradigm offline menjadi online pada kasus-kasus organisasi tertentu sama halnya dengan merubah budaya organisasi tersebut.

Mungkin kita bisa ambil pelajaran dari kasus yang pernah dialami oleh Global Healthcare Exchange (GHX), sebuah perusahaan yang didirikan oleh beberapa perusahaan supplier peralatan, produk dan layanan medis yang menyediakan layanan electronic trading exchange untuk memfasilitasi pertukaran informasi, uang, barang dan atau layanan di industri healthcare. Dalam perjalanannya, GHX melakukan beberapa merger dengan beberapa provider termasuk dengan Medibuy. Proses merger dengan Medibuy tidak berjalan lancar seperti dengan provider lainnya. Ada dua permasalahan terberat yang dialami GHX saat mengalami merger, yaitu penyatuan budaya kedua organisasi yang berbeda serta gagalnya integrasi TIK. Hingga beberapa waktu, baik GHX maupun Medibuy masih menjalankan layanan TIK nya sendiri-sendiri, sehingga kerap kali terjadi redundancy data, informasi maupun layanan yang diberikan kepada pelanggan. GHX sadar bahwa mereka harus mengatasi masalah ini secepat mungkin, agar sinergi kedua perusahaan dapat memberikan dampak terhadap bisnis masing-masing. Namun, GHX juga sadar bahwa mereka tidak dapat melakukan perubahan tersebut secara radikal. Merekah harus menerapkan strategi manajemen perubahan secara bertahap dalam mengatasi permasalahan integrasi layanan TIK kedua perusahaan. Untuk itu, ada empat tahap / fase integrasi yang dilakukan oleh GHX, yaitu:

1. Fase Inisiasi : Memisahkan segmen pasar GHX dan Medibuy

Fase awal dari proses integrasi GHX dan Medibuy dimulai dengan menjalankan layanan TIK masing-masing secara terpisah, dengan pemisahan segmen pasar dari kedua perusahaan. Fase ini dilakukan sebagai tahap penjajakan layanan TIK pada masing-masing perusahaan untuk saling mengenal karakteristik layanan TIK yang ada. Pada fase ini, layanan TIK yang diberikan pelanggan masih dilakukan terpisah, sehingga pelanggan Medibuy dan pelanggan GHX belum terkoneksi satu sama lain.

2. Fase 1 : Menghubungkan kedua segmen pasar

Setelah proses penjajakan dilakukan, selanjutnya proses integrasi dilanjutkan dengan menghubungkan pelanggan kedua perusahaan. Proses migrasi mulai dibangun pada koneksi yang sudah ada. Selain itu, mulai dilakukan proses adopsi standarisasi teknologi integrasi oleh kedua perusahaan. Pada fase ini koneksi yang menghubungkan kedua perusahaan sudah mulai terbangun, namun layanan sebagian besar layanan TIK masih dilakukan secara terpisah.

3. Fase 2 : Integrasi komponen-komponen kritis

Fase berikutnya adalah mengintegrasikan komponen-komponen kritis pada layanan TIK yang dimiliki kedua perusahaan. Pada fase ini, layanan TIK kedua perusahaan mulai diintegrasikan, dimulai dengan melakukan integrasi pada komponen-komponen kritis yang dimiliki kedua perusahaan. Proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati sebab fase ini menentukan berhasil atau tidaknya integrasi TIK dikedua perusahaan. Pada fase ini, pelanggan masing-masing perusahaan sudah dapat mengakses layanan yang terdapat pada GHX maupun Medibuy.

4. Fase 3 : Integrasi ERP

Setelah komponen-komponen kritis layanan TIK berhasil diintegrasikan, langkah berikutnya adalah mengintegrasikan ERP yang dimiliki kedua perusahaan. Fase terakhir ini merupakan fase penggabungan seluruh transaksi, layanan serta produk kedua perusahaan menjadi satu, yaitu layanan GHX. Sehingga pelanggan Medibuy cukup mengakses situs GHX untuk mendapatkan informasi produk dan layanan serta list supplier untuk produk dan layanan medis (healthcare).

Ada beberapa masalah yang biasanya timbul pada implementasi TIK dalam konteks perubahan yang ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Gambar 1.1 Penyebab kegagalan perubahan TIK

Gambar 1.1 diatas memaparkan 4 (empat) dimensi permasalahan utama dalam perubahan TIK yang biasanya muncul dan menjadi penghambat (inhibitor) dalam perubahan, yaitu:

1. Sumberdaya manusia

Permasalahan ini cenderung berasal dari sumberdaya manusia yang terdapat di perusahaan. Dari sisi SDM, permasalahan yang timbul antara lain resisten karena penerapan TIK dianggap dapat mengganti atau menggusur pekerjaannya (implementasi TIK merubah budaya organisasi), rasa malas untuk mempelajari teknologi baru, skill dan knowledge yang tidak cukup untuk mengoperasikan sistem, menganggap training hanya media untuk menghabiskan jam kantor, munculnya banyak komplain dan permintaan dari user sementara staff / SDM TI yang ada terbatas dan lain-lain.

2. Sistem dan Teknologi Informasi

Permasalahan ini berasal dari sistem informasi atau teknologi informasi yang sudah ada (current condition), dimana penerapan sistem dan teknologi informasi baru menyebabkan gangguan pada sistem yang lama. Beberapa permasalahan yang biasanya timbul berkaitan dengan Sistem Informasi adalah:

Perbedaan platform antara aplikasi baru dengan aplikasi yang lama (misal: Aplikasi baru dirancang di platform linux, sementara OS yang running saat ini adalah Windows, perbedaan platform database, dan lain-lain).

Proses integrasi yang gagal menyebabkan sistem error, dimana ketika aplikasi baru diinstall, maka kedua aplikasi menjadi error / hang.

Redudancy data

Proses migrasi yang salah, sehingga beberapa data penting hilang

Masuknya beberapa threat dari aplikasi baru seperti virus atau bugs yang dapat merusak kerja sistem yang sudah ada

Sedangkan beberapa permasalahan yang biasanya timbul berkaitan dengan Teknologi Informasi adalah:

Gagalnya proses migrasi infrastruktur (server, jaringan computer, database) baru.

Konfigurasi jaringan komputer yang salah

Gagalnya proses integrasi baik dengan aplikasi baru maupun dengan aplikasi dan infrastruktur lama.

3. Prosedur

Permasalahan lain yang biasanya muncul dalam perubahan TIK adalah perubahan SOP, dimana untuk beberapa kasus implementasi TIK baik secara langsung maupun tidak langsung akan merubah SOP yang ada, khususnya pada unit / divisi TI serta divisi-divisi lain. Sebagai contoh adalah took computer yang biasanya menjual produknya menggunakan cara offline marketing. Namun, manajemen berfikir cara tersebut tidak efektif sehingga manajemen memutuskan untuk meningkatkan produktifitas jangka panjang dengan merubah cara pemasaran produk secara online. Hal ini mau tidak mau akan merubah hampir keseluruhan SOP yang digunakan perusahaan selama ini. Dari perspektif TIK, masuknya aplikasi baru yang diintegrasikan dengan aplikasi lama juga dapat berdampak pada berubahnya SOP yang sudah dijalankan.

4. Proyek TIK

Salah satu faktor penyebab kegagalan perubahan TIK adalah gagalnya pelaksanaan proyek-proyek TI. Hal ini penting mengingat besarnya dampak kegagalam proyek terhadap terhambatnya proses perubahan yang dilakukan. Banyak hal yang dapat menyebabkan kegagalan proyek (molornya waktu pelaksanaan, membengkaknya project cost, serta buruknya kualitas proyek) diantaranya salah dalam menentukan vendor / kontraktor pelaksana (jika di outsource), pergantian programmer ditengah-tengah proyek, project scope yang terus berkembang, dan lain-lain.

STRATEGI MANAJEMEN PERUBAHAN TIK SEBAGAI SOLUSI

Untuk mengatasi kegagalan pada proses perubahan TIK suatu organisasi, maka perlu dibuat strategi manajemen perubahan TIK secara sistematis. Penyusunan strategi ini dapat membantu perusahaan dalam implementasi perubahan TIK sesuai dengan tujuan perubahan organisasi yang sudah ditetapkan perusahaan. Gambar 1.1 berikut ini akan menggambarkan metodologi pembuatan strategi manajemen perubahan TIK secara umum:

Gambar 1.2 Metodologi perencanaan strategi manajemen perubahan TIK

Perubahan TIK sebenarnya adalah bagian dari perubahan organisasi, dimana perubahan TIK merupakan usaha yang dilakukan perusahaan untuk berubah disebabkan meningkatnya tekanan dari lingkungan bisnis maupun meningkatnya kebutuhan pasar yang mengharuskan perusahaan untuk menggunakan TIK dalam mensupport aktifitas mereka agar tetap dapat bertahan dalam persaingan.

Tidak setiap perubahan membutuhkan strategi untuk mengelolanya, tergantung tipe pada tipe perubahan apan yang sedang dialami perusahaan. Jika permasalahannya hanyalah perusahaan perlu melakukan improvement dari kondisi saat ini yang sudah baik, seperti meningkatkan efisiensi, meningkatkan kecepatan layanan, tanpa adanya suatu tekanan yang mengharuskan perusahaan untuk berubah (tipe developmental change), maka kasus seperti itu tidak memerlukan strategi manajemen perubahan untuk memuluskan perubahan.

Tipe perubahan organisasi yang lain adalah transitional change, dimana perubahan terjadi akibat tuntutan bisnis yang semakin meningkat. Para pendatang baru berdatangan dengan mengusung teknologi baru, berpotensi merebut pasar yang dimiliki hingga dapat mengancam eksistensi perusahaan dalam industri. Pada tipe perubahan ini, perusahaan berada pada masa transisi, dimana arah dan tujuan perubahan telah diketahui. Namun, manajemen belum mengetahui langkah apa yang harus diambil dalam melaksanakan rencana perubahan tersebut dan bertransformasi kedalam bentuk baru yang diharapkan. Wajah dunia pendidikan Indonesia saat ini diwarnai dengan berbagai fasilitas dan pelayanan yang menggunakan “e” didepannya, seperti e-Learning, e-Library, dan lain-lain. Pengumpulan tugas kuliah tidak lagi menjadi tumpukan-tumpukan kertas yang siap diloakkan ketika periode mata kuliah tersebut berakhir. Beberapa Universitas yang masih menggunakan cara-cara konvensional dalam menjalankan proses belajar mengajar harus berpikir untuk segera menyesuaikan perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Sebab jika masih ada universitas yang melakukan pengisian KRS seperti membeli minyak tanah, dimana ada proses antri ber jam-jam, maka bersiaplah tergusur oleh universitas baru yang membawa teknologi dalam melakukan aktifitasnya. Bahkan saat ini, beberapa universitas negeri yang “merasa” posisinya mulai terancam oleh kehadiran universitas-universitas swasta mulai menerapkan strategi baru dengan membentuk jaringan pendidikan antar universitas di Indonesia (INHERENT) guna memeperlancar pertukaran informasi dan tentunya strategi ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan TIK sebagai medianya. Pada tipe perubahan ini, manajemen perlu menerapkan strategi manajemen perubahan untuk mendampingi implementasi perubahan TIK dalam memperkecil resiko kegagalan yang mungkin timbul. Perumusan strategi dimulai dengan menganalisis lingkungan internal maupun eksternal organisasi untuk mencari kekuatan dan kelemahan yang dimiliki saat ini yang dapat digunakan untuk memanfaatkan peluang dan ancaman yang ada. Kemudian dilakukan analisis SWOT untuk merumuskan strategi manajemen perubahan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat perubahan TIK.

Contoh kasus PTDI yang telah dipaparkan sebelumnya adalah contoh tipe perubahan transformational change. Pada tipe perubahan ini, perencanaan strategi manajemen perubahan TIK akan menjadi sia-sia, sebab perusahaan yang berada pada kondisi ini lebih membutuhkan solusi yang cepat atas permasalahan yang dihadapi. Hal ini terus dilakukan hingga posisi perusahaan mendekati stabil (tanpa permasalahan besar yang dapat mengakibatkan perusahaan colaps). Pada kondisi ini, perusahaan sudah berada pada ambang kebangkrutan, sehingga untuk menyelamatkannya manajemen perlu merubah perusahaan kedalam bentuk yang baru. Namun, arah dan tujuan perubahan belum diketahui, sehingga perubahan yang dilakukan cenderung adhoc, tidak terarah, tidak terukur (tanpa sasaran) dan tanpa perencanaan yang matang. Pada tipe ini, manajemen “dipaksa” untuk berubah dengan motivasi agar perusahaan dapat survive dan exist dalam persaingan industri. Setelah semua permasalahan utama perusahaan terselesaikan dan perusahaan mulai bangkit kembali, kemudian manajemen baru dapat memikirkan arah dan tujuan perubahan yang diinginkan dan menentukan strategi manajemen perubahan yang tepat dalam mencapainya.

Setelah strategi manajemen perubahan terbentuk, kemudian ditentukan tahapan-tahapan dalam melakukan perubahan TIK agar perubahan yang terjadi tidak instant. Penulis mengusulkan 6 (enam) tahapan dalam penerapan strategi manajemen perubahan TIK seperti terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1.3 Enam Model Tahapan implementasi manajemen perubahan TIK

· Tahap I : Sosialisasi perubahan TIK

Tahap awal dari perubahan yang dilakukan adalah mensosialisasikan perubahan TIK yang terjadi termasuk mensosialisasikan dampak yang akan muncul dari perubahan tersebut. Strategi yang masuk dalam kelompok ini merupakan strategi yang ditujukan untuk mensosialisasikan apa perubahan TIK yang terjadi, bagaimana cara mencapainya dan apa yang dapat dilakukan masing-masing orang dalam mensukseskan perubahan tersebut. Strategi yang digunakan dapat berupa weekly meeting untuk seluruh staff, workshop atau seminar-seminar tentang konten perubahan yang akan dilakukan.

· Tahap II : Penyesuaian sumberdaya TIK yang dimiliki

Tahap berikutnya adalah menyesuaikan sumberdaya TIK yang dimiliki dengan perubahan yang akan dilakukan. Penyesuaian ini dapat berupa pengadaan infrastruktur yang belum ada, optimalisasi sistem yang ada agar dapat diintegrasikan dengan sistem baru, training dan team building dari user, khususnya staff TIK, dan lain-lain

· Tahap III: Memperkecil resistensi yang muncul akibat perubahan TIK

Dalam setiap proses perubahan akan selalu ada kekuatan yang mendukung perubahan (driving forces) dan kekuatan yang menolak perubahan (resistance forces). Tahap ini dimaksudkan untuk memperkecil –atau bahkan kalu mungkin menghilangkan- resistance forces dari perubahan yang dilakukan. Sehingga, pada tahap ini tim manajemen perubahan TIK akan berkoordinasi dengan tim koalisi penuntun sebagai change agent dari perubahan organisasi dalam usaha meningkatkan driving forces dan memperkecil resistance forces agar perubahan TIK yang dilakukan tidak terhambat.

· Tahap IV: Proses Adaptasi terhadap perubahan TIK

Perubahan TIK merupakan perubahan yang melibatkan penggunaan teknologi (dalam hal ini TIK) untuk membantu operasional perusahaan dalam mencapai tujuan bisnisnya. Dalam setiap implementasi teknologi baru, perlu adanya penyesuaian dalam penggunaan dan pengoperasian TIK tersebut. Suatu aplikasi baru, misalnya, tidak dapat langsung digunakan secara lancer dengan SDM yang dimiliki tanpa adanya training dan proses latihan secara terus menerus. Membiasakan user dalam hal ini SDM perusahaan dalam menggunakan aplikasi baru tersebut adalah langkah yang dilakukan pada tahap ini dengan tujuan agar SDM dapat menggunakan sistem tersebut secara optimal. Sehingga, user akan terbiasa dalam mengoperasikan sistem baru tersebut dalam membantu pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Dengan itu, maka tujuan penerapan TIK baru yaitu Sistem Informasi yang dapat mengefisienkan proses bisnis (efficiency), mudah digunakan (simplify), Terintegrasi (Integrated) dan dapat mengotomasi proses-proses yang masih dilakukan secara manual (Automated) dapat tercapai.

· Tahap V : Perubahan Perilaku (Budaya kerja TIK)

Setelah user mulai terbiasa dengan sistem informasi baru yang diterapkan, tahap berikutnya adalah merubah perilaku user sesuai dengan perubahan TIK yang dilakukan. Sebagai contoh ketika sebelum ada sistem informasi baru SDM terbiasa melakukan koordinasi harian (distribusi penugasan) melalui surat atau tatap muka, maka dengan adanya sistem baru penugasan tersebut harus dilakukan secara online (e-Assignment), sehingga perilaku tatap muka yang biasanya dilakukan tidak diperbolehkan lagi digunakan.

· Tahap VI: Melekatkan perubahan TIK pada budaya perusahaan.

Setelah perilaku user berubah sesuai dengan perubahan TIK yang dilakukan, maka perubahan tersebut dilekatkan dengan budaya perusahaan sebagai akhir dari tahap perubahan TIK yang dilakukan. Hal ini penting mengingat perubahan yang dilakukan akan sia-sia jika budaya yang ada masih budaya lama yang tidak sesuai dengan visi misi perubahan TIK yang dilakukan perusahaan. Pada contoh diatas, melekatkan budaya berarti menetapkan mekanisme penugasan dilakukan secara online melalui e-Assignment.

Leave a comment